Share this article

AMJOO #3 Hadirkan Art Talk 'Converse Moment: Golden Legacy Made Wianta'

Rabu, 15 Juni 2022 : 18:03
Editor Choice :

    Kritikus seni Jean Couteau memberikan pemaparan tentang karya Made Wianta di ajang AMJOO#3. (Foto: Galeri Zen1)


    BALIDELIGHT - Pada art talk AMJOO #2 yang digelar di Griya Santrian Gallery Sanur Desember tahun lalu, masih menyisakan pertanyaan yang mengantung perihal posisi karya-karya Wianta untuk masa depan. 

    Pertanyaan ini kemudian dibahas kembali pada “Converse Moment: Golden Legacy Made Wianta” di AMJOO #3. Meskipun masih berangkat dari proses penciptaan karya Wianta di masa lalu, setidaknya publik seni rupa yang hadir saat itu memahami mengapa AMJOO#3 masih mengusung Golden Legacy Made Wianta yang dianggap relevan dengan tema yang diangkat tahun ini, yakni Continuance Wave, yang membicarakan seni masa lalu dan akan datang yang dibicarakan saat ini.

    Converese Moments: Golden Legacy Made Wianta  yang dilaksanakan di venue Art Moments Jakarta Online and Offline #3 di lantai 3 Art:1 New Museum & Art Space Jakarta 12 Juni 2022, menghadirkan pembicara Penulis dan Kurator Jean Couteau, Nicolaus F. Kuswanto direktur Galeri Zen1, serta Fair Director dan Co-Founder Art Moments Jakarta Sendy Wijaya, yang dipandu moderator Yudha Bantono pelan-pelan menjawab tentang pertanyaan periodesasi, posisi Wianta dalam kancah seni rupa kontemporer dunia, pasar seni rupa global, edukasi publik seni rupa, serta strategi masa depan perjalanan Golden Legacy Made Wianta. 

    Nicolaus F. Kuswanto mengatakan pada kenyataannya memang tidak begitu banyak publik penikmat seni rupa mengetahui secara dekat karya-karya perupa Made Wianta dalam periodisasi karya-karya yang telah ia lahirkan.  

    Bahwa tataran keberadaan karya-karya yang telah beredar di tangan kolektor maupun publikasi lebih menunjukkan pada tren yang belum dikategorikan, atau pada wilayah kategorisasi periode. Karya-karya itu seolah hadir sendiri-sendiri. Sangatlah disayangkan, bila selama ini banyak orang berfikiran ukuran periodisasi karya Made Wianta karena masa atau tahun karya itu dilahirkan. Karena, Wianta dalam berkarya bisa melompat dari tahun ke tahun, bahkan mengulang periodisasi yang ia anggap belum selesai. 

    Menurut Jean Couteau, mengikuti perkembangan karya Made Wianta adalah seperti mengikuti perkembangan pemikirannya, yang sekaligus liar dan tertata. Semuanya terurut meskipun terlihat melompat-lompat dari satu periode stilistik tertentu ke periode berikutnya. 

    Setiap periode dipengaruhi oleh periode sebelumnya, bahkan elemen atau bentuk-bentuk sebelumnya ia kerap hadirkan kembali pada periode-periode yang menyusul. Wianta adalah sosok seniman kreatif, bahkan setelah Lempad ia belum menemukan sosok seniman sekreatif seperti Wianta. 

    “Di dalam seni rupanya, seperti di dalam ciri karakternya, Wianta bersifat kreatif secara kompulsif di seputar dua kutub: kutub uneg-uneg yang “harus keluar”, dan kutub “sistem”, dimana semua tertata. Kedua kutub itu tampil dengan ekstrim. Kreativitasnya adalah ulak-alik dialektis antara dua unsur itu. Segi “letusan uneg-uneg” produktif di seni rupa, tetapi juga di luar seni rupa, terutama di dalam sastra dan musik. Wianta  menggarap karya-karya puisi yang ia sebut puisi rupa atau seni rupa dalam kata-kata yang ia namakan rupa kata. Begitu halnya dalam hal bebunyian ia juga telah banyak menghasilkan karya-karya yang ia namakan rupa bunyi. Baik puisi maupun bunyi/musik ini  keluar secara meluap-luap sebagai bagian dari proses kreatif yang tak beda dengan seni rupa: harus keluar, apapun medium dan hasilnya, dan usai keluar, harus diberi bentuk”, tambah Jean. 

    Suasana Art Talk 'Converse Moment: Golden Legacy Made Wianta'. (Foto: Galeri Zen1)


    Ketika ditanya mengenai Art Moments Jakarta sebagai salah satu bagian penting membawa pembicaraan Golden legacy Made Wianta pada tataran pasar seni rupa global. Sendy Wijaya mengatakan, saat pandemic maupun sekarang ini ketika menuju endemic akibat badai Covid 19 adalah momentum yang tepat. 

    Menurutnya, kebiasaan online masih tetap terjaga dalam menunjukkan pada respon pasar dunia. Banyak publik seni rupa yang tertarik dengan keberadaan karya-karya yang ikut serta di Art Moments Jakarta, bukan sebatas wacana yang disuguhkan saja, namun nilai transaksional menunjukkan pada angka yang terus meningkat. 

    Ketika saat pandemic adalah jeda waktu tidak bisa melihat karya secara langsung fisiknya, bukan berarti halangan bagi publik seni rupa untuk menikmati serta memiliki karya-karya yang bagus. Sebagai art fair  hybrid pertama di Indonesia, Art Moments Jakarta memberikan kesempatan publik seni rupa berselancar secara online dengan kemudahan dari menu-menu yang dihadirkan. Respond yang sangat bagus ketika kehadiran karya-karya Golden Legacy Made Wianta semakin dipertanyakan, lebih-lebih bagi publik seni rupa yang baru mengetahui dan mengikuti, serta ingin mengoleksi. 

    Made Wianta adalah sosok perupa Bali yang memiliki reputasi dunia. Karya-karya Made Wianta telah dipamerkan bahkan dikoleksi museum-museum terkemuka baik di Singapura, Jepang maupun di Swiss. Made Wianta juga merupakan seniman yang telah mengukir sejarah panjang dalam pergerakan seni rupa kontemporer maupun modern. Wianta telah mengikuti berbagai ajang seni rupa bergengsi dunia, salah satunya adalah Biennale Vinesia Italia. Wianta secara aktif juga pernah memberikan kuliah tamu di beberapa universitas terkemuka di Amerika dalam program dialog budaya barat dan timur. 

    Seniman kelahiran Apuan, Tabanan Bali yang telah berpulang dua tahun lalu tidaklah habis untuk dibicarakan, khususnya dalam pergerakan seni rupa di Indonesia. Berbagai kegiatan spektakuler yang mengukir namanya dalam pembicaraan seni rupa, maupun isu-isu dunia seperti Art and Peace 1999 maupun Unity in Diversity pada tahun 2002. Karya-karya Wianta telah terpublikasi dalam terbitan nasional maupun secara internasional, seperti Times Edition.

    Galeri Zen1 yang secara khusus memajang lengkap periodesasi karya-karya Made Wianta  di lantai 2 AMJOO#3, menurut Nicolaus merupakan salah satu upaya untuk menghadirkan kembali dalam memaknai lahirnya sembilan periode karya-karya Made Wianta.  Istilah “Golden Legacy” sejatinya adalah kesadaran untuk semakin memperkenalkan dan mendekatkan kembali ke hadapan publik seni rupa, khususnya setelah seniman Made Wianta tiada. 

    Mengenai strategi ke depan dalam membawa Golden Legacy Made Wianta, Nicolous sebenarnya tidak ingin membocorkannya. Namun ia hanya menyampaikan rangkaian agenda-agenda penting di tahun-tahun mendatang, yang sudah pasti di beberapa gelaran art fair baik nasional maupun internasional. Melalui  Golden Legacy Made Wianta, ia akan terus bekerjasama dengan Wianta Foundation dalam menghadirkan ragam sembilan periode melalui karya yang berbeda-beda, bahkan jarang sekali diketahui publik penikmat karya Wianta. Disamping itu, ia juga akan membangun kembali jaringan internasional yang telah dilakukan oleh Made Wianta. 

    “AMJOO #3 yang berlangsung dari tanggal 9-12 Juni secara Offline dan 10 Juni – 31 Agustus 2022 secara online adalah bagian penting dalam merekonstruksi perjalan karya-karya Made Wianta. Dan sebetulnya titik mula berangkatnya Galeri Zen1 berkolaborasi dengan Art Moments Jakarta saat itu yang telah dirancang sebelumnya bersama mendiang Leo Silitonga dan Sendy Wijaya”, tambah Nico. 

    Ada dua hal sederhana dan penting yang disampaikan Jean Couteau bagi penikmat karya-karya Wianta dalam memahami karya-karyanya, disamping karyanya, juga kisah proses kelahiran dari karya itu sendiri. Penikmat karya-karya Wianta bisa masuk lebih dalam disamping rabaan visual yang telah memberikan kejutan keindahan. 

    Converse Moment yang juga dihadiri putri Wianta Buratwangi sebagai pembicara tamu, semakin memaknai kehadiran karya-karya Golden Legacy. Burat menjelaskan beberapa proses kelahiran karya Wianta yang tidak dipamerkan di AMJOO#3 yakni perihal polusi udara dengan menghadirkan kenalpot-kenalpot kendaraan di Museum Singapura, serta art project Run Island and Manhattan yang berbicara mengenai perjalanan sejarah perdagangan rempah nusantara, dalam sisi alam dan hasil rempah, serta kemanusiaan. Art project yang digagas awal tahun 2000-an ini telah menjadi pembicaraan dunia, dan telah pula menghasilkan buku yang siap diterbitkan.

    Burat mewakili Wianta Foundation memberikan respon positif atas pelaksanaan AMJOO#3 yang mengusung Golden Legacy serta menjadi bagian penting dalam merekonstruksi kembali perjalanan karya-karya Made Wianta. Wianta Foundation membuka pintu atas kemungkinan kerjasama kembali terhadap project-project seninya, baik yang telah maupun belum dilaksanakan oleh mendiang Wianta semasa hidupnya. 

    Menanggapi upaya memahami persoalan proses kreatif Made Wianta dalam perspektif melihat masa lalu dan mendatang, Jean Couteau yang secara intens mengikuti perkembangan karya-karya Wianta mengatakan, memang Wianta sudah meninggal dua tahun yang lalu, reputasi Wianta tidak lagi dipengaruhi oleh kegiatannya. Namun namanya dan karyanya tetap hadir. 

    Kenapa? Karena dia telah mengeluarkan seni Balinya dari kewajiban menggambarkan Bali yang eksotis. Baginya Bali tentu saja eksis di dalam ciri-ciri tertentu seninya, misalnya peran kontur, repetisi pattern atau penggunaan warna sebagai pengisi bidang, bukan penentu bentuk, tetapi tidak menjadi tujuan. Dia “berbicara” bukan tentang Bali, seperti pelukis sebelumnya, tetapi tentang dirinya menghadapi dunia, secara visual dan secara sosial. Dengan berbicara tentang dirinya, dia berbicara tentang kita semua ini, pada zaman panca roba bangsa dan dunia. Itulah yang menjamin keberlangsungan kehadirannya.

    Karya-karya Made Wianta dalam Golden Legacy yang diusung Galeri Zen1 di AMJOO#3 dengan jelas menunjukkan adanya pergeseran di antara bentuk-bentuk garis dan warna, maupun material pada setiap periode. Pengunjung AMJOO#3 secara tidak sadar sebenarnya diajak berpetualang dalam setiap hasil kreasi dan eksperimen Wianta. 

    Converse Moment yang telah dilakukan AMJOO #3, mengingatkan di tiga kali kunjungan saya pada ART BASEL di Basel Swiss, bahwa art and conversation adalah bagian penting dari helatan art fair yang memperkaya pembicaraan seni rupa, tidak melulu pada pasar dan pasar. (Yudha Bantono, AMJOO#3, Jakarta Juni 2022) 

     


    Share this article

    Latest

    View All