Share this article

Pesona Wisata Banyuwangi dan Festival Gandrung Sewu 2019

Minggu, 29 September 2019 : 12:24
Editor Choice :
    Festival Gandrung Sewu 2018 (Foto-foto: Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi)
    PERKEMBANGAN pariwisata Banyuwangi yang didukung homestay, warung, restoran, hotel berbintang, destinasi, publikasi, branding, hingga penyediaan infrastruktur yang lengkap telah diakui banyak orang.

    Suatu perkembangan —yang kata anak milenial sungguh amazing— ini kian membuka mata wisawatan bahwa Banyuwangi memiliki suguhan kualitas pariwisata yang tidak boleh disepelekan.

    Oleh siapa? Tentu, oleh para pesaing destinasi pariwisata lainnya.

    Setidaknya tempat-tempat wisata seperti Pulau Merah, Teluk Hijau, Teluk Biru, Pantai Rajegwesi, Plengkung, Pantai Sukamade, Ijen, Air Terjun Kalibendo, Air Terjun Kampung Anyar, Sadengan Savana, Taman Nasional Baluran, Pulau Tabuhan, Pantai Boom, Pantai parang Kursi, Pantai Bangsring, Grajakan serta sekitar 50-an destinasi lain juga layak dikunjungi.

    Belum lagi atraksi seperti Festival Gandrung Sewu, Banyuwangi Etno Carnival, Kebo-keboan, Banyuwangi Beach Jazz Festival, Jazz Gunung Ijen, Tour de Banyuwangi Ijen, Banyuwangi Ijen Green Run, Alas Purwo Geopark Run, Choclate Glenmore Run, Festival Film Pendek, Kompetisi E-Sport sampai festival pelajar yang mewadahi kreativitas anak muda.

    Kiprah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas meningkatkan kemajuan wilayah ini seperti menggarisbawahi ungkapan Shakespeare: “What is the city, but its people?” Kota adalah cerminan dari warganya. Seperti pernah dikatakan Bupati Anas: “Banyuwangi boleh maju, boleh terus berkembang, tapi kebudayaan warganya tidak boleh terpinggirkan di tengah kemajuan yang Insya-Allah akan dicapai.”

    Semangat membangun Banyuwangi yang berlandaskan tradisi dan budaya luhur ini salah satunya bakal digelar pada Sabtu, 12 Oktober 2019 yakni Festival Gandrung Sewu, di Pantai Marina Boom Banyuwangi.

    Gandrung Banyuwangi Sebuah Identitas

    Kata “gandrung” diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat petani, tarian ini biasa digelar setelah panen.

    Kesenian ini masih satu genre dengan ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lengger di Banyumas dan joged bumbung di Bali. Tarian gandrung melibatkan seorang penari wanita yang mahir yang menari berpasangan bersama penari pria (paju) dengan iringan gamelan Osing.

    Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan gamelan khas Osing ini sangat populer, bahkan telah menjadi identitas Kota Banyuwangi sebagai Kota Gandrung. Maka tidak mengherankan jika Anda mengunjungi kota ini akan menjumpai banyak patung gandrung di sejumlah tempat.

    Menurut sejumlah sumber, kelahiran gandrung ditujukan pula untuk menghibur para pembabat hutan Tirta Harum yang kemudian menjadi ibu kota dan dikenal dengan Banyuwangi.

    Gandrung di samping sebagai tarian penghibur juga sebagai pengiring upacara memohon keselamatan, berkaitan dengan pembabatan hutan yang sangat angker kala itu.

    Pada masa kolonial, kesenian gandrung dimanfaatkan sebagai alat perjuangan yaitu dengan jalan menjerat tentara Belanda yang telah mabuk menikmati pesta dan larut dalam gemulai liuk tubuh sang penari gandrung.

    Wanita gandrung pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Semi, seorang anak berusia 10 tahun pada 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah.

    Segala cara sudah dilakukan hingga pergi dukun pintar, tetapi Semi tak kunjung sembuh, sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar bila sembuh akan dijadikan Seblang, kalau tidak ya tidak jadi.

    Ternyata akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus mulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

    Namun, menurut catatan sejarah gandrung ditarikan pertama kali oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan. Kemudian gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap pada 1890-an, dan kemudian dinyatakan benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.

    Kini Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, perayaan tujuh belasan serta berbagai acara resmi maupun tidak resmi di lingkungan Banyuwangi maupun wilayah lainnya sampai luar negeri.

    Festival Gandrung Sewu 2019

    Daya tarik Banyuwangi sedang menggeliat, bukan hanya sebagai gejala pariwisata, tetapi juga sebagai gejala kebudayaan. Ini artinya salah satu produk kebudayaan yang menjadi ikon kota ujung timur Pulau Jawa ini semakin memberikan identitas yang lebih kuat.

    Kisah gandrung yang sangat melegenda dengan peradaban Kota Banyuwangi, teramat penting diletakkan pada panggung terhormat di kota asalnya sebelum dikenal di luar daerah ataupun mancanegara.

    Dengan segala hormat, sebagai orang Banyuwangi saya mengenal kesenian gandrung sejak kecil dan sering menonton pertujukan ini.

    Nama gandrung sebagai seni pertunjukan seperti halnya seni pertunjukan tradisional lain di tanah Jawa samar-samar memang telah surut karena digantikan pertunjukan modern.

    Tetapi, sejak 8 tahun terakhir ketika Banyuwangi dipimpin Bupati Azwar Anas, gandrung kembali melejit melalui Festival Gandrung Sewu.

    Sesuai namanya, Gandrung Sewu, menjadi kemasan festival yang menghadirkan lebih dari 1.000 penari. Festival Gandrung Sewu 12 Oktober 2019 mendatang merupakan pergelaran kedelapan yang akan menghadirkan 1.358 penari yang berasal dari siswi SD, SMP, SMA, SMK, dan MA.

    Mereka adalah para penari yang telah lolos seleksi dari seluruh kecamatan di Banyuwangi akan ambil bagian dalam pagelaran masal yang dilaksanakan mulai pukul 14.00 sampai selesai.

    Pantai Marina Boom dipilih sebagai lokasi karena memiliki daratan yang landai dengan ruang terbuka yang mampu menampung kesenian dengan pertunjukan massal dan kolosal.

    Di samping para undangan, festival ini diperkirakan dikunjungi sekitar 10.000 penonton yang datang dari berbagai daerah.

    Para pengunjung yang bebas masuk tanpa dipungut biaya akan menjadi saksi festival yang telah ditunggu-tunggu warga Banyuwangi serta para wisatawan domestik dan mancanegara.

    Festival Gandrung Sewu 2019 mengusung tema “Panji-panji Sonangkoro” yang akan diterjemahkan dalam gerak gemulai 1.258 penari, 70 orang penampil fragmen, serta 30-an penabuh gamelan.

    Keberadaan fragmen yang memperkaya kisah gandrung ini memaparkan kisah perjuangan heroisme Raden Mas Alit yang menjadi bupati pertama di Banyuwangi.

    Perlawanan rakyat terhadap kolonial Belanda dengan bendera VOC telah meninggalkan kisah sedih karena Raden Mas Alit gugur pada usia muda dalam ekspedisi pelayaran.

    Dikisahkan rakyat Banyuwangi pada masa kolonial hidup tercerai-berai di pedesaan, pedalaman, bahkan ada yang menetap di hutan dengan kondisi yang mengenaskan.

    Atas prakarsa Raden Mas Alit setelah selesai ibu kota baru dari hasil membabat hutan dengan nama Banyuwangi, rakyat akhirnya tinggal dan menetap di kota baru itu.

    Gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuangan untuk menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh kompeni, termasuk kota yang dihancurkan sangat berhasil untuk membangun kembali Bumi Blambangan dengan semangat persatuan melawan penjajah.

    Festival Gandrung Sewu adalah kesadaran untuk memaksimalkan kembali pada memori sejarah maupun kultural, dan ini sangatlah penting di saat jati diri NKRI dipertanyakan bahkan diuji keberadaannya.

    Inilah salah satu cara atau aksi melakukan investasi budaya, yang ditujukan bagi masa depan masyarakat Banyuwangi, di samping untuk menarik wisatawan. Jangan lewatkan festival ini dan pastikan Anda berada di Pantai Marina Boom Banyuwangi, pada Sabtu 12 Oktober 2019. (Yudha Bantono)
    Share this article

    Latest

    View All