Share this article

Lukisan Putri China Moelyoto: Mendialogkan Kekinian & Masa Lalu

Rabu, 20 Februari 2019 : 19:51
Editor Choice :
    'Natural' karya Moelyoto
    LUKISAN cat air berjudul Natural karya perupa Moelyoto membawa ingatan saya pada kisah Putri China yang melegenda di tanah air. Sontak ingatan ini muncul karena karakter Putri China dan klenteng itu terdapat dialog kekinian dan masa lalu.

    Sebenarnya ketika hadirnya Putri China itu sedikit banyak membawa kelana saya pada perannya di penyebaran agama Islam tanah Jawa. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri China itu adalah ibunda Raden Patah, tokoh penting yang mengukuhkan Islam di tanah Jawa pada awal penyebarannya.

    Putri China telah diangkat dalam berbagai tema. Pada seni lukis tradisional kaca style Jawa, Putri China dengan mata sipit banyak disukai oleh para pelukisnya. Gambaran ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang Jawa banyak menyimpan kenangan tersendiri terhadap Putri China. Pun demikian kiranya dengan perupa Moelyoto.

    Lukisan cat air karya Moelyoto ini telah dipamerkan secara bersama dengan para pelukis International Watercolor Society di Bentara Budaya Bali, tiga tahun silam. Putri China dalam pikiran Moelyoto melambangkan kultur yang telah menyatu dengan keberagaman etnis yang membangun bangsa Indonesia.

    Kendati keberadaannya di depan klenteng yang memudahkan pembacaan tentang apa yang akan disampaikan, Moel hanya mengatakan bahwa Putri China itu untuk dilihat sebagai subjek saja, sementara objek-objek pendukung dengan sendirinya memperkuat citraan karyanya. Ia hadir natural untuk mempertemukan Putri China dan karakter yang ada.

    Karena itu, Moelyoto menggambarkannya secara alami dari setting sebuah tema karya. Moel menyadari dalam menggarap karya ini ia tidak masuk pada wilayah pergulatan maupun pencarian yang seakan-akan ingin membahas muatan tema secara mendalam.

    Beragam gagasan semisal yang menggambarkan suasana hari-hari besar Tionghoa seperti Imlek, Cap Go Meh, Cheng Beng, Duan Wu, dan lainnya, masing-masing memiliki ciri untuk dapat ditentukan.

    Karya Natural saya lihat memiliki nilai refleksi mendalam terhadap perkembangan kultur di tanah air. Boleh dibilang juga karya ini hadir sebagai penanda dalam sejarah kultur China yang telah membaur dengan ragam pernak-perniknya.

    Ada persoalan ideologi estetis yang bersandar pada kultur, dan ini muncul juga dari karya-karya Moel lainnya, benar-benar menggambarkan imagi budaya nusantara.

    Ketika ditanya apakah memang dirinya sedari mula menentukan imaji budaya nusantara menjadi bagian atas hadirnya karya-karyanya? Moel menjawab sebenarnya tidak merancangnya, tetapi keindahan budaya nusantara justru membawanya untuk mengungkap dan membicarakannya.

    Sepintas memang realitas ini akan mengantarkan pada pendekatan estetik atas ideologi kebudayaan yang tumbuh sebagai basis ruang kesadaran seorang Moelyoto.

    Dalam karya Natural otoritas gagasan lebih disandarkan pada dialog kekinian, dimana unsur-unsur seperti gaget menjadi bagian penting sebagai bagian bahasa ungkap. Mungkin ini yang sering banyak dibicarakan publik seni rupa bahwa sebuah karya hendaknya memiliki gagasan visual yang segar.

    Soal perspektif estetika, Moel sangat inovatif menggarap setiap tema karya dengan teknik lukis cat air tingkat tinggi. Tampilan objek pendukung dalam karyanya nyaris tergarap detil, bahkan menyerupai tiga dimensi.

    Ukiran naga pada bakor dan ilustrasi kisah dewa-dewi pada meja pemujaan menarik pandangan mata saya, seperti memainkan lensa kamera untuk mencari titik fokus dalam menikmati karya ini.

    Pada karya Natural saya merasakan bagaimana Moelyoto sedang mempermainkan dengan nyaman motif ragam hiasan budaya China, pola hiasan, warna emas dan merah memperkuat spirit budaya China sebagai satu kekuatan dalam karyanya.

    Saya beranggapan membaca karya Moelyoto, dalam capaian secara umum yaitu detil visualisasi dan dialog ruang akan membawa publik dapat merasakan adanya sebuah pesan dimensi budaya dan kekinian.

    Karya "Natural" Moelyoto selanjutnya saya renungkan memang layak ditempatkan pada porsi estetis yang menjadi medan pertaruhan apresiasi secara kritis. (Yudha Bantono, Imlek 2019)
    Share this article

    Latest

    View All