Ida Bagus Gede Sidharta Putra |
Dalam sekian kurun waktu, citraan akan suasana alam serta pergaulan sosial masyarakat Sanur, yang terbilang terbuka terhadap pendatang dari berbagai bangsa dan negara, menjadi sedemikian lekat dengan desa pesisir yang mendunia.
Akan tetapi, selain beragam daya pikat tersebut, Sanur juga memiliki aneka warisan kultural, yang tidak hanya mencerminkan proses panjang sejarah kesenian dan kebudayaan Pulau Dewata, namun juga kehidupan sosial masyarakat Bali secara keseluruhan.
Agenda tahunan Sanur Village Festival yang pada 2019 berlangsung 14 kali telah ikut andil memaknai identitas baru dengan semangat berlandaskan akar tradisi dan budaya Bali.
Pelaksanaan Sanur Village Festival kali ini tetap berpegang pada potensi alam, tradisi dan budaya serta kreativitas yang ada, seperti tujuan utama festival yakni sebagai respons atas peristiwa bom pada 2005 silam: Bangkit dari keterpurukan!
Sanur Village Festival dirancang bukan sekadar promosi pariwisata yang berdampak terhadap perekonomian masyarakat, tetapi juga menjadi ajang pengayaan keberagaman seni dan budaya, memperluas ruang kreatif, sekaligus merayakan kehidupan masyarakat Sanur dengan segala keramahtamahan dan keterbukaannya.
Dedikasi yang berawal dari tanggap darurat pascabom 2005 itu kini kian memosisikan Sanur yang berdaya saing dalam industri pariwisata. Inilah yang menjadikan branding kuat bagi kepariwisataan Sanur.
Gusde pula yang merancang dan mengelola festival itu besar seperti sekarang. Peran Desa Sanur dalam babakan histori Pulau Bali memang tak bisa dipungkiri.
Salah satunya ialah ulasan secara mendalam terkait penemuan Prasasti Blanjong (913 M), yang merupakan prasasti tertua di Bali, peninggalan raja tersohor Shri Kesari Warmadewa, dipautkan dengan asal muasal daerah ini.
Tak hanya itu, menurutnya juga dari sisi latar sejarah kultural Sanur, yang berdasarkan pendapat Van der Tuuk, ahli linguistik asal Belanda, juga turut mengambil andil penting dalam dunia seni rupa Bali.
Memang, pada paruh awal Abad Ke-20, Sanur tak pelak adalah salah satu kantong seni lukis di Bali, di mana seni lukis dan wayang berkembang sedemikian luasnya oleh upaya gigih perkumpulan seniman-seniman, yaitu Sanur School of Art.
“Dari peristiwa-peristiwa dan kenyataan masa lalu itulah, kita tidak hanya dapat melacak kilas balik masa lalu, namun juga memaknai nilai-nilai historis, sosial dan budaya yang terkandung di dalamnya, guna diolah secara lerbih menyeluruh serta berkesinambungan demi menjaga serta meneguh-kukuhkan eksistensi Desa Sanurm,” tutur Gusde.
Kata Gusde, inilah titik pijak yang dijadikan bahan renungan bingkai festival. Digagas bukan sekedar bangkit dari keterpurukan, namun juga menjaga Sanur secara berkelanjutan. Sanur Village Festival adalah ruang yang dapat dijadikan referensi perihal Sanur pada masa lalu, kini, dan akan datang.
Pertimbangan tiga waktu ini adalah hal yang wajar di mana Dialog Budaya Sanur Village Festival telah dan akan dilaksanakan secara berkesinambungan membicarakan dan membahasnya.
Bambu yang menurut Gusde adalah tanaman purba yang tidak bisa dilepaskan dari unsur kehidupan tradisi dan budaya Bali.
Gusde mengisahkan di geriya tempat tinggalnya yang tetap tumbuh rumpun bambu sangat memberikan keteduhan. Suara gesekan ranting dan batang, lambaian daun serta udara yang mengalir dapat menciptakan rasa damai bagi siapapun yang ada di sekitarnya.
Pengalaman Gusde ini diperkuat ketika ia mengunjungi beberapa kuil Budha di Jepang. Ketika ia berjalan mengitari kuil dan turut bermeditasi kenapa di tempat itu terasa nyaman? Banyak orang tidak menyadari ternyata CO2 yang tersaring daun bambu menjadi O2 yang lebih kaya.
Bambu tidak hanya berberan sebagai protektor terhadap tanah atau lahan di sekitar kuil, tetapi buffer udara, cuaca maupun kepercayaan terhadap unsur-unsur jahat yang akan menyerang.
Menurut Gusde bambu telah menjadi perbincangan di dunia sebagai bahan alternatif yang ramah lingkungan, tetapi justru kurang populis di tanah Bali, saatnya bersama-sama memikirkan kembali keberadaannya.
Dialog Budaya Sanur Village Festival akan digelar 9 Agustus 2019 mendatang di Hotel Griya Santrian dengan menghadirkan pembicara Dr. Wayan Kun Adnyana (Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati (Budayawan, praktisi pariwisata dan akademisi), Popo Danes (Arsitek) dan Dr. Ir. Pande Ketut Diah kencana, MS (Peneliti, akademisi dan pendamping masyarakat budidaya bambu di) diharapkan akan mengantarkan pemikiran kenapa bambu sangat penting bagi kehidupan dan harus terus dimuliakan. (Yudha Bantono)